Minggu, 31 Oktober 2010

Ruang Angkasa Emisi Roket Bisa Picu Perubahan Iklim

Senin, 25 Oktober 2010 | 14:11 WIB
AFP PHOTO/ KAREN BLEIER
Ilustrasi pesawat SpaceShipTwo setelah lepas dari pesawat induknya.
JAKARTA, KOMPAS.com - Keinginan manusia untuk mengunjungi ruang angkasa bisa menimbulkan dampak buruk. Berdasarkan penelitian terbaru, karbon hitam yang diemisikan oleh roket bisa berpengaruh pada perubahan iklim secara global dalam beberapa dekade mendatang. Para peneliti itu mempublikasikan hasil penelitiannya di Jurnal Geophysical Research Letter, yang terbit Oktober 2010.

Berdasarkan pada hasil penelitian itu, jelaga yang diemisikan oleh roket akan terakumulasi di ketinggian 40 km, tiga kali lebih tinggi dari ketinggian penerbangan pesawat penumpang. Tak seperti jelaga pesawat penumpang yang diemisikan di lapisan bawah atmosfer dan akan segera terurai dalam hitungan minggu, jelaga yang diemisikan oleh roket akan tetap bertahan di lapisan atmosfer yang tinggi, yaitu stratosfer.

Jelaga yang tertahan akan menghalangi sinar matahari yang memasuki bumi. Pada akhirnya, hal itu akan berpengaruh pada perubahan iklim secara global. "Respon pada perubahan iklim pada emisi karbon hitam dalam jumlah yang relatif kecil sangat mengejutkan," ungkap Michael Mills, peneliti dari National Center of Atmospheric Research (NCAR), Boulder, Colorado. Emisi di satu titik saja akan berpengaruh pada iklim dalam cakupan yang luas.

Menggunakan model komputer dari atmosfer bumi, para ilmuwan itu membuktikan bahwa temperatur bagian bumi yang berada di bawah lapisan jelaga akan menurun sebesar 0,7 derajat Celsius, sementara Antartika (kutub selatan) akan memanas 0,8 derajat Celsius.

Sementara itu, wilayah khatulistiwa akan kehilangan 1 persen ozon dan daerah kutub akan memiliki tambahan ozon sebesar 10 persen. Efek global dari hal tersebut adalah meningkatnya jumlah panas matahari yang tertahan di atmosfer. Itu artinya, jelaga tersebut berkontribusi pemanasan global.

Studi sebelumnya yang dilakukan Martin Ross dari Aerospace Corporation in Los Angeles, California pada tahun 2009 mengungkapkan bahwa jelaga roket berbahaya karena langsung dikeluarkan di lapisan stratosfer, tempat dimana ozon berada. Lewat hasil studi ini, ia berharap dapat mengkoordinasikan para ilmuwan, insinyur dan pemilik bisnis penerbangan roket ruang angkasa agar dapat mendiskusikan hal ini.

Ross dan timnya mendasarkan prediksi mereka pada perkembangan bisnis penerbangan roket ruang akasa pada tahun 2020. Penerbangan roket saat ini mengemisikan sepersepuluh dari jumlah yang digunakan untuk dalam penelitian ini.
Nature

Misi Antariksa Pesawat Epoxi Kejar Komet Hartley 2

Rabu, 27 Oktober 2010 | 14:36 WIB
NASA
Ilustrasi saat misi Epoxi mendekati komet Hartley 2.
WASHINGTON, KOMPAS.com - Misi pengejaran benda luar angkasa yang dilakukan sebuah pesawat tanpa awak milik NASA akan melesat semakin mendekati targetnya yakni komet Hartley 2. Hari ini, pesawat tersebut melenting ke Bumi dengan memanfaatkan gara gravitasi untuk mempercepat lajunya. Pada tanggal 4 November 2010 pukul 10.01 pagi waktu AS, pesawat luar angkasa Epoxi yang kini bergerak dengan kecepatan 12,5 km per detik itu akan berada pada jarak 700 km dari komet, jarak terdekat yang akan dicapainya.
Peristiwa pendekatan pesawat ruang angkasa ke komet ini akan menjadi catatan sejarah. Untuk kelima kalinya komet tersebut dipotret dengan jarak dekat dan untuk pertama kalinya pesawat yang sama mampu memotret dua komet. Sebelum memotret komet Hartley 2, misi Epoxi yang merupakan kelanjutan misi Deep Impact telah digunakan untuk memotret komet Tempel 1.
Observasi komet Hartley 2 menggunakan Epoxi dimulai pada tanggal 5 Sepertember lalu. Sementara, masa pesawat mulai memasuki wilayah yang dekat dengan komet (encounter phase) akan dimulai pada tanggal 3 November 2010 mendatang, saat pesawat ruang angkasa itu berjarak 18 jam dari inti komet.
Saat pesawat ruang angkasa ini memasuki encounter phase, ia akan mengarahkan dirinya ke komet, memancarkan dua cahaya tampak dan satu infrared ke arah komet. Posisi itu akan terus berlanjut hingga kurang lebih 24 jam dari awal encounter phase.
"Saat itu, pesawat akan mengambil semua citra komet dan menyimpannya di dua komputer yang telah dipersiapkan. Beberapa jam kemudian, pesawat akan mulai mengarahkan dirinya ke bumi sehingga semua citra bisa dikirim ke bumi. Pada saat yang sama, pesawat masih akan mengambil citra-citra baru dari komet," kata Tim Larson, manager proyek Epoxi dilansir situs Badan Antariksa AS (NASA).
Setelah semua citra terkirim, karakter dari nukleus komet Hartley akan mampu teridentifikasi. "Setelah gambar didapatkan, kami akan mampu membedakan karakter nukleus komet Hartley dengan komet Temple 1," kata Mike A'Heam, kepala tim investigasi yang berasal dari Universitas Maryland, AS.
Masa-masa menunggu Epoxi sampai ke titik terdekat dengan Hartley 2 akan sangat menegangkan bagi para anggota tim. Pasalnya, Epoxi sebenarnya bukan sebuah pesawat ruang angkasa baru yang khusus dirancang untuk meneliti komet Hartley 2 sehingga semua kemungkinan bisa terjadi.
EPOXI sebelumnya bernama Deep Impact yang sudah menyelesaikan misi sebelumnya pada 4 Juli 2005. Namun, kondisi pesawat ruang angkasa tersebut masih bagus. Dengan mendaur ulang Deep Impact menjadi Epoxi, NASA mampu menghemat 90 persen pembiayaan untuk misi sejenis. Komet Hartley 2 kebetulan tengah melintas pusat tata surya dan sempat berada pada jarak terdekat dengan Bumi sejauh 18 juta kilometer minggu lalu.
NASA