Jumat, 29 Oktober 2010 | 09:57 WIB
AFP/BAY ISMOYO
Rumah warga yang hancur dihantam gempa dan tsunami di Kampung Taparaboat, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Kamis (28/10/2010).Ninok Leksono
”Trembling/The Earth rages into a storm/a monster from the deep/has now been reborn/it shifts and shakes/ everything in its path/It pushes and pulls me to no end/It swallows up people indiscriminately/making no account of foe or friend.” (Adam Smith, pemuda pencinta seni, dalam laman helium.com)Dalam puisi Adam Smith di atas, kita mendengar sebutan menyeramkan tapi pas tentang gempa bumi, yakni ”monster dari kedalaman”. Seniman ini juga melukiskan dengan nada serupa soal ulah gempa, yakni ”menelan orang tanpa pandang bulu, tak peduli lawan atau kawan”.
Ya, monster dari kedalaman itu memang tak kenal siapa-siapa. Kalaupun ia seekor naga, ia hanya ingin mengibas-ngibaskan badan dan ekornya tanpa peduli itu akan melibas apa dan siapa.
Sementara ilmuwan terus mengumpulkan sepotong demi sepotong pengetahuan, rahasia dan misteri yang mengiringi kedatangannya masih misteri.
Di antara pengetahuan yang telah berhasil dikumpulkan antara lain adalah bahwa frekuensi gempa sebenarnya tidak bertambah meski sekarang ini kita sering merasa gempa terjadi lebih sering. Menurut Gautam Naik (The Wall Street Journal, 1/3), sejak tahun 1964, yaitu ketika katalog gempa global dimunculkan, jumlah gempa bumi tahunan bisa dikatakan konstan. Rata-rata dalam setahun ada 17 gempa dengan magnitudo 7 atau lebih tinggi.
Dua pekan silam, dari Cile kita belajar upaya penyelamatan pekerja tambang yang mengagumkan. Sebenarnya dari Cile pun kita bisa belajar persiapan menghadapi gempa.
Terkait dengan gempa Haiti Januari 2010, David Wald dari National Earthquake Information Center US Geological Survey mengatakan, ”Gempa bumi tidak menewaskan orang, bangunanlah yang menewaskan mereka.”
Penjelasan tersebut muncul karena ada pertanyaan, ”Apa yang membuat gempa modern begitu dahsyat (dalam arti menelan korban lebih banyak)?” Penjelasannya adalah karena ada banyak kota besar yang dibangun di dekat zona yang secara seismik aktif.
Kota-kota berpenduduk banyak itu, khususnya di negara berkembang, disertai dengan rumah dan gedung yang dibangun dengan konstruksi ala kadarnya, dirancang dan dengan material ala kadarnya.
Sementara itu, Cile setelah mengalami serentetan gempa, termasuk paling kuat yang pernah dicatat, yakni berkekuatan 9,5 skala Richter pada 1960, lalu menerapkan standar bangunan yang sangat ketat.
Kita dapat bertanya kepada diri sendiri, apakah setelah gempa Aceh (2004), Nias (2005), Yogyakarta dan Jawa Barat (2006), Bengkulu (2007), dan Padang, Sumatera Barat (2009), lalu kita melakukan hal serupa?
Satu sisi pembelajaran itu sendiri seharusnya diperkuat dengan pelajaran ilmu bumi di SD dan sekolah menengah sehingga siswa semakin mengenal tidak saja keindahan dan kekayaan Tanah Air, tetapi juga bahaya yang sepanjang waktu mengancamnya. Geologi atau yang dijuluki sebagai earthshaking science (diambil sebagai judul buku karya Susan Elizabeth Hough, 2002) dapat menjadi ilmu yang dekat di benak pemuda Indonesia.
Kalaupun teori tentang lempeng tektonik atau pergeseran benua baru akan diketahui kemudian, dari awal generasi muda bisa menjadikan sosok seperti Alfred Wegener yang mengusulkan teori pergeseran benua atau dari Tanah Air, JA Katili, sebagai sumber inspirasi.
Bila pendidikan tentang sains kebumian di sekolah diharapkan mampu melengkapi kesiapan Indonesia dalam menghadapi bencana, hari-hari ini satu hal yang masih sering dikeluhkan adalah belum kuatnya lembaga penanganan bencana di Tanah Air. Memang sudah ada Badan Pengendalian Bencana, baik di tingkat nasional maupun daerah, tetapi melihat lingkup permasalahan yang amat luas, pemerintah—dan juga masyarakat—perlu memperluas lagi strategi manajemen bencana.
Indonesia merupakan bagian dari Cincin Api yang seumur- umur akan ditandai oleh aktivitas seismik dan vulkanik yang berpotensi menimbulkan bencana. Sejauh ini, setidaknya dalam perjalanan Republik, memang telah terjadi berbagai bencana besar dan kecil. Namun, selain itu, ada juga ancaman yang jauh lebih mengerikan. Meminjam istilah Bill McGuire (dalam bukunya A Guide to the End of the World, 2002), ancaman muncul dalam wujud ”the enemy within” yang tidak lain adalah ”Letusan Gunung Super”, ”Tsunami Raksasa”, dan ”Gempa Bumi Raksasa”. Ketiga bencana super itu merupakan bahaya laten Indonesia.
Selain tiga tipe ”the enemy within”, McGuire masih menyebut kemungkinan tsunami kosmik, yang dipicu oleh jatuhnya asteroid atau komet dari ruang angkasa.
Menyadari semua itu, mumpung bencana lebih dahsyat belum datang, marilah bersiap diri dengan membuat PR yang ada.
Termasuk dalam ajakan itu tentunya adalah ”memasang sensor yang lengkap untuk memantau gunung berapi, memasang pelampung tsunami dan memantau keberadaannya, serta meningkatkan pengetahuan tentang gempa bumi—disertai dengan relokasi penduduk dari wilayah rawan gempa”. Diperluas untuk potensi bencana lain, bisa juga ditambahkan keharusan untuk tidak menggunduli hutan atau menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan sampah.
Ditambah dengan penguatan sarana dan prasarana, termasuk Hercules dan CN untuk pengiriman bantuan, dan instalasi jaringan telekomunikasi andal di seluruh Tanah Air, kita baru bisa dikatakan punya persiapan yang baik sebagai warga Cincin Api.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar