Kamis, 28 Oktober 2010

Letusan Merapi "Wedhus Gembel" yang Mematikan

Letusan Merapi
"Wedhus Gembel" yang Mematikan
Kamis, 28 Oktober 2010 | 10:12 WIB
KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO
Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta, luluh lantak setelah diterjang awan panas letusan Gunung Merapi, Rabu (27/10/2010). Akibat letusan gunung berapi ini, ribuan warga mengungsi, ratusan rumah hancur, dan 26 orang meninggal dunia.
YUNI IKAWATI
KOMPAS.com - Pegunungan menjadi tempat wisata yang nyaman karena udaranya sejuk. Di puncaknya, lazimnya berkumpul uap air hingga terbentuk awan hujan. Namun, ketika gunung tengah aktif, yang muncul dari lubang kepundannya adalah awan panas yang berbahaya dan mematikan.
Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, panorama pegunungan merupakan hal yang umum ditemui, termasuk juga ketika gunung itu tengah mengepul. Ini karena wilayah Nusantara merupakan bagian terpanjang dari ”cincin api” atau jajaran gunung berapi di sekeliling cekung Pasifik dan memiliki 129 gunung api.
Gunung-gunung aktif itu tersebar dari Sumatera hingga Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku. ”Setiap tahun ada 12 hingga 15 gunung api yang berstatus di atas Aktif Normal. Di antara jumlah itu, enam hingga delapan gunung yang meletus,” kata Mas Atje Purbawinata, pengamat kegunungapian.
Aktivitas gunung merapi, antara lain, ditunjukkan oleh keluarnya lava dari dapur magma ke lubang kepundan. Lelehan lava itu terus menumpuk semakin besar di sekeliling bibir kawah membentuk kubah.
Naiknya magma ke permukaan kepundan dapat menimbulkan kepulan asap hingga membentuk awan panas dan menyebabkan letusan material yang terdiri dari uap, debu, dan bebatuan. Awan panas atau ledakan freatik tersebut terjadi apabila magma yang naik itu menyentuh air tanah atau genangan air di kepundan.
Suhu magma bisa mencapai 600 derajat celsius hingga 1.170 derajat celsius. Hal inilah yang membuat air yang terkena langsung menguap dan menimbulkan letusan uap, debu, bebatuan, dan ledakan vulkanik. Mekanisme pembentukan kubah gunung berapi juga terjadi di Gunung Merapi yang Selasa (26/10) kemarin meletus.
Peningkatan aktivitas vulkanik dideteksi mulai dari kegempaannya hingga terjadinya guguran kubah lava. ”Guguran ini menyebabkan kubah yang terbentuk selama bertahun-tahun akan mulai terbongkar,” ujar Mas Atje, mantan peneliti di Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Sebelum memasuki masa pensiun, ia menghabiskan masa tugasnya selama hampir 30 tahun memantau gunung api di Indonesia, terutama Gunung Merapi.
Deformasi permukaan di puncak semakin besar pada kubah lava yang sudah semakin membesar itu. Karena tidak stabil pada posisinya di puncak tersebut, kubah ini akhirnya gugur dalam bentuk guguran lava pijar dan awan panas.
Pembentukan kubah Merapi pernah terpantau Satelit Alos dan Ikonos pada 2007 sebelum gugur pada Mei tahun itu. ”Diameternya sekitar 500 meter,” ungkap Orbita Roswintiarti, Kepala Bidang Data Inderaja Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.
Sementara itu, dalam laporan tertulis terkait pernyataan status Awas Merapi, Senin (25/10), Kepala PVMBG Surono menyebutkan, dalam waktu empat hari sejak Kamis (21/10) terjadi peningkatan empat kali lipat pertumbuhan kubah di puncak Merapi. Sehari kemudian, kubah yang terbentuk selama empat tahun itu gugur.
Gugurnya sebagian besar kubah ini membuka jalan lebih besar bagi magma untuk naik ke permukaan. Kondisi ini menyebabkan terbongkarnya kubah lava secara besar-besaran. Hal ini mengakibatkan terjadinya letusan, seperti yang terjadi Selasa lalu.
Letusan tersebut juga diikuti dengan terjadinya fragmentasi material magma baru dan munculnya awan panas. Proses ini, kemarin, mengakibatkan hujan abu.
”Wedhus gembel”
Saat ini lava mulai lagi membentuk kubah baru. Namun, apabila terjadi suplai magma dalam jumlah besar, ada kemungkinan awan panas yang menimbulkan letusan akan terjadi lagi.
Di Merapi, guguran lava yang menghasilkan awan panas umumnya terjadi setelah pertumbuhan kubah lava. Tipe erupsi khas Merapi adalah efusif, yaitu pembentukan kubah yang tidak stabil karena terdesak magma hingga akhirnya runtuh berupa guguran lava pijar dan awan panas.
Dalam volume yang besar, material yang gugur itu berubah menjadi rock avalanche atau lebih dikenal dengan sebutan wedhus gembel. Dinamakan wedhus gembel karena bagi masyarakat sekitar bentuknya bergulung-gulung menyerupai bulu wedhus atau kambing.
Awan panas ini merupakan campuran material berukuran debu hingga blok bersuhu le- bih dari 700 derajat celsius yang meluncur dengan kecepatan bisa di atas 100 kilometer per jam.
Ancaman banjir lahar
Dewi Sri, pengamat Merapi di Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK), kembali mengingatkan bahaya banjir lahar. ”Setelah letusan akan muncul bahaya sekunder, yaitu banjir lahar pada sungai-sungai yang berhulu di Merapi,” katanya.
Hal ini kemungkinan besar terjadi, mengingat curah hujan yang tinggi di lereng Merapi selama musim hujan ini. Karena itu, perlu dilakukan langkah antisipasi pihak terkait.
Sementara itu, untuk memastikan waktu berakhirnya pengungsian penduduk, menurut Sri Sumarti, pengamat di BPPTK, pihaknya memerlukan waktu sekitar dua hingga tiga hari untuk menghimpun data tentang gempa multifase dan gempa frekuensi rendah serta deformasi di puncak.
”Data ini diperlukan untuk memperkirakan aktivitas Merapi selanjutnya, apakah akan membentuk kubah lava baru atau letusan-letusan lagi,” ucapnya.
Kompas Cetak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar