Kisah Hebat Pebiola Iskandar Widjaja
Jumat, 29 Oktober 2010 | 06:39 WIB
istimewa
Iskandar Widjaja
KOMPAS.com — Anak muda itu memesona seluruh penonton yang memenuhi gedung pertunjukan Titan Theater di kawasan Bintaro pada Kamis (28/10/2010). Dia bukan saja enak dipandang secara ragawi, tetapi permainan biolanya adalah sebuah percakapan yang puitis. Lihatlah, bagaimana dia tersenyum lembut ketika dawai biolanya menyusuri keindahan komposisi karya Nicola Paganini, Cantabile for Violin & Piano. Namun di waktu yang lain, dia pun bisa garang mencabik-cabik cepat dawai biolanya dengan busur (Tremolando) dan dengan jari-jarinya (pizzicato).
Tampaknya anak muda itu memang telah beranjak meninggalkan teknik. Dia sudah tidak ada persoalan lagi dengan kualitas nada, ritme, dinamik, artikulasi, dan timbre. Bunyi yang dihasilkan oleh gesekan biolanya sungguh prima, bersih, dan juga berdaya menyihir. Itulah yang dia pertontonkan selama tiga hari (28, 29, 30 Oktober 2010) di Jakarta.
Dialah Iskandar Widjaja, pemuda usia 24 tahun, berdarah Indonesia yang lahir dan besar di Jerman. Lahir pada 1986 dan mulai memainkan biola sejak berusia 4 tahun. Ia belajar dengan Ilan Gronich di UDK Berlin dari tahun 2005 hingga 2010. Saat ini ia menerima dukungan dari Dora Schwarzberg dan bekerja di masterclasses bersama Henning Kraggerud, Shlomo Mintz, Kristen Tetzlaff, dan Donald Weilerstein.
Bakatnya yang besar dan terus terasah mengantarkan Iskandar memperoleh hadiah pertama di Jugend Musiziert, Hindemith, Postacchini dan Goldener Julius Violin Kompetisi.
Tak mengherankan jika kehebatannya itu segera dilirik oleh beberapa kelompok orkestra yang mengajaknya manggung bareng. Dia tercatat pernah tampil sebagai solist di beberapa kelompok orkestra, Dubrovnik Symphony Orchestra, Jakarta Symphony, Klassische Philharmonie Bonn, das Sinfonieorchester Berlin, Filmorchester Babelsberg dan Berlin Chamber solois di Norwegia, Jerman, Kroatia, Swiss, Indonesia, Spanyol, Italia, Belgia dan Amerika Serikat dan festival seperti "Bad Kissinger Musiksommer", St.Prex dan Valdres Norwegia.
Berbekal permainan biolanya itulah Iskandar pun pernah merasai bermain di tempat-tempat terpandang seperti di Berlin Philharmonic, Konzerthaus Berlin, Gedung Kesenian Jakarta, Fort Reverin, Tel Aviv Opera.
Penampilannya juga telah menerima pujian yang tinggi dari media seperti "Strad", "Dubrovacki Vesnje", dan "der Tagesspiegel".
Fenomena "Iskandar" terus menggelinding. Sebuah CD dengan rekaman langsung dari Berlin Philharmonie pun dirilis oleh Sony Music pada bulan Juni 2010 dengan karya-karya Poulenc dan Handel Halvorsen. Potret tentang Iskandar Widjaja pun pernah ditampilkan di RBB, TV Berlin dan Brainworker Film.
Menerima sambutan yang hangat serta santun dari para penonton yang memadati Titan Theater, Iskandar pun teringat pengalaman ketika pertama kali bermain di hadapan publik Jakarta lima tahun lalu. Iskandar mengemukakan, betapa penonton (terutama kaum hawa) waktu itu hanya melihat ketampanan dirinya dan mengabaikan etiket galibnya pada sebuah pertunjukan musik klasik. Penonton bertepuk tangan dan berteriak tiap kali Iskandar mempertontonkan kepiawiannya bermain biola, padahal satu komposisi belum dia rampungkan.
Pun demikian saat dirinya bermain di Goethe Haus, Jakarta. Penonton, lagi-lagi para remaja putri, lebih mengagumi ketampanan Iskandar ketimbang permainan biolanya. Itulah sebabnya, Iskandar pun dibanjiri surat cinta dan bunga kertas.
Iskandar memang sosok unik. Dia muncul justru menjadi ikon musik klasik dan tidak meminjam idiom pop seperti yang dilakukan oleh Vanessa Mae. Maklumlah, sebab dia melalui hari-harinya bersama biola 1793 F. Geissenhof dari Wina dan karya-karya dari Mozart, Vivaldi, Beethoven dan Brahms.
Kesungguhan dan totalitasnya dalam bermain biola itulah yang kemudian melahirkan ekspresi indah. Sehingga tampak betul, Iskandar dan biolanya di panggung seperti sedang menceritakan lagu yang dibawakannya. Tampaknya Iskandar yakin betul bahwa musiknya adalah untuk penonton, bukan untuk dirinya sendiri.
Berbeda dengan kebanyakan pebiola yang "hanya" mencari keindahan bunyi, Iskandar justru cenderung mengikuti kata hatinya. "Saya mencari kemurnian emosi. Saya pikir hidup tak selalu indah dan bahagia," ungkap Iskandar saat jumpa pers di Titan Theater.
Anak muda ini tampaknya memang percaya, betapa semua yang berasal dari hati pasti akan sampai pula ke hati penonton. Dan Iskandar telah membuktikannya dengan "hadiah" guruh tepuk tangan para penonton yang bukan saja mengagumi permaiananya, melainkan juga sungguh-sungguh menikmati jiwa komposisi yang dia dendangkan bersama biolanya. Bravo!
Berbeda dengan kebanyakan pebiola yang "hanya" mencari keindahan bunyi, Iskandar justru cenderung mengikuti kata hatinya.
Dialah Iskandar Widjaja, pemuda usia 24 tahun, berdarah Indonesia yang lahir dan besar di Jerman. Lahir pada 1986 dan mulai memainkan biola sejak berusia 4 tahun. Ia belajar dengan Ilan Gronich di UDK Berlin dari tahun 2005 hingga 2010. Saat ini ia menerima dukungan dari Dora Schwarzberg dan bekerja di masterclasses bersama Henning Kraggerud, Shlomo Mintz, Kristen Tetzlaff, dan Donald Weilerstein.
Bakatnya yang besar dan terus terasah mengantarkan Iskandar memperoleh hadiah pertama di Jugend Musiziert, Hindemith, Postacchini dan Goldener Julius Violin Kompetisi.
Tak mengherankan jika kehebatannya itu segera dilirik oleh beberapa kelompok orkestra yang mengajaknya manggung bareng. Dia tercatat pernah tampil sebagai solist di beberapa kelompok orkestra, Dubrovnik Symphony Orchestra, Jakarta Symphony, Klassische Philharmonie Bonn, das Sinfonieorchester Berlin, Filmorchester Babelsberg dan Berlin Chamber solois di Norwegia, Jerman, Kroatia, Swiss, Indonesia, Spanyol, Italia, Belgia dan Amerika Serikat dan festival seperti "Bad Kissinger Musiksommer", St.Prex dan Valdres Norwegia.
Berbekal permainan biolanya itulah Iskandar pun pernah merasai bermain di tempat-tempat terpandang seperti di Berlin Philharmonic, Konzerthaus Berlin, Gedung Kesenian Jakarta, Fort Reverin, Tel Aviv Opera.
Penampilannya juga telah menerima pujian yang tinggi dari media seperti "Strad", "Dubrovacki Vesnje", dan "der Tagesspiegel".
Fenomena "Iskandar" terus menggelinding. Sebuah CD dengan rekaman langsung dari Berlin Philharmonie pun dirilis oleh Sony Music pada bulan Juni 2010 dengan karya-karya Poulenc dan Handel Halvorsen. Potret tentang Iskandar Widjaja pun pernah ditampilkan di RBB, TV Berlin dan Brainworker Film.
Menerima sambutan yang hangat serta santun dari para penonton yang memadati Titan Theater, Iskandar pun teringat pengalaman ketika pertama kali bermain di hadapan publik Jakarta lima tahun lalu. Iskandar mengemukakan, betapa penonton (terutama kaum hawa) waktu itu hanya melihat ketampanan dirinya dan mengabaikan etiket galibnya pada sebuah pertunjukan musik klasik. Penonton bertepuk tangan dan berteriak tiap kali Iskandar mempertontonkan kepiawiannya bermain biola, padahal satu komposisi belum dia rampungkan.
Pun demikian saat dirinya bermain di Goethe Haus, Jakarta. Penonton, lagi-lagi para remaja putri, lebih mengagumi ketampanan Iskandar ketimbang permainan biolanya. Itulah sebabnya, Iskandar pun dibanjiri surat cinta dan bunga kertas.
Iskandar memang sosok unik. Dia muncul justru menjadi ikon musik klasik dan tidak meminjam idiom pop seperti yang dilakukan oleh Vanessa Mae. Maklumlah, sebab dia melalui hari-harinya bersama biola 1793 F. Geissenhof dari Wina dan karya-karya dari Mozart, Vivaldi, Beethoven dan Brahms.
Kesungguhan dan totalitasnya dalam bermain biola itulah yang kemudian melahirkan ekspresi indah. Sehingga tampak betul, Iskandar dan biolanya di panggung seperti sedang menceritakan lagu yang dibawakannya. Tampaknya Iskandar yakin betul bahwa musiknya adalah untuk penonton, bukan untuk dirinya sendiri.
Berbeda dengan kebanyakan pebiola yang "hanya" mencari keindahan bunyi, Iskandar justru cenderung mengikuti kata hatinya. "Saya mencari kemurnian emosi. Saya pikir hidup tak selalu indah dan bahagia," ungkap Iskandar saat jumpa pers di Titan Theater.
Anak muda ini tampaknya memang percaya, betapa semua yang berasal dari hati pasti akan sampai pula ke hati penonton. Dan Iskandar telah membuktikannya dengan "hadiah" guruh tepuk tangan para penonton yang bukan saja mengagumi permaiananya, melainkan juga sungguh-sungguh menikmati jiwa komposisi yang dia dendangkan bersama biolanya. Bravo!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar